Pendahuluan
Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan bagi setiap Muslim yang mampu, sekali seumur hidup. Haji memiliki dimensi spiritual, sosial, dan syariah yang kompleks, sehingga pembahasan mengenai hukum dan pelaksanaannya telah dikaji secara mendalam oleh para ulama fiqih klasik maupun kontemporer. Kajian ini memfokuskan pada pandangan empat madzhab fiqih utama (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) serta pendekatan kontemporer yang merespons dinamika zaman modern.
1. Pandangan Fiqih Klasik
a. Hukum Haji
Semua madzhab sepakat bahwa haji adalah fardhu ‘ain bagi Muslim yang baligh, berakal, merdeka, dan memiliki kemampuan (istitha’ah).
Dalil: QS. Ali-Imran: 97 – “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah…”
b. Rukun Haji (Arkan al-Hajj)
Semua madzhab sepakat bahwa rukun haji minimal mencakup: ihram, wukuf di Arafah, thawaf ifadhah, dan sa’i antara Shafa dan Marwah. Namun terdapat perbedaan dalam pengklasifikasian rukun dan wajib haji antara madzhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali.
c. Jenis Haji
Tiga jenis haji dikenal oleh semua madzhab: Ifrad, Tamattu’, dan Qiran. Madzhab Syafi’i dan Hanbali lebih mengutamakan tamattu’, Hanafi memilih qiran, sedangkan Maliki mengutamakan ifrad.
d. Waktu dan Tempat
Waktu ihram, wukuf, dan thawaf telah ditentukan secara tekstual. Perbedaan madzhab muncul dalam hal teknis seperti hukum melewati miqat tanpa ihram dan waktu lempar jumrah.
2. Pandangan Kontemporer
a. Tantangan Modernisasi
Konsep kuota haji, sistem antrean, tabungan haji, vaksinasi, dan teknologi transportasi modern merupakan tantangan baru yang tidak dikenal dalam fiqih klasik.
b. Ijtihad Modern
Lembaga fiqih kontemporer seperti Majma’ al-Fiqh al-Islami, Rabithah al-‘Alam al-Islami, dan MUI mengeluarkan fatwa-fatwa baru terkait haji modern seperti penyembelihan dam digital, melempar jumrah karena uzur, dan penggunaan teknologi.
c. Haji Digital dan Virtual
Konsep haji virtual ditolak sebagai bentuk ibadah karena tidak memenuhi syarat fisik dan tempat. Namun, teknologi diperbolehkan sebagai media edukasi manasik haji.
3. Komparasi Klasik dan Kontemporer
Aspek | Fiqih Klasik | Fiqih Kontemporer |
Penetapan hukum | Berdasarkan nash dan qiyas | Nash, maqashid syariah, dan maslahat mursalah |
Transportasi | Tradisional (onta, jalan kaki) | Modern (pesawat, bus, kereta) |
Kuota & Antrean | Tidak dikenal | Diatur oleh negara |
Biaya | Personal atau wakaf | Tabungan, subsidi, bahkan fintech syariah |
Wakil (badal haji) | Diperbolehkan dengan syarat | Masih relevan, termasuk bagi orang tua dan disabilitas |
Teknologi | Tidak dikenal | Diperbolehkan sebagai pendukung |
Kesimpulan
Fiqih klasik telah membangun fondasi hukum ibadah haji yang sangat kokoh berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah. Namun, tantangan zaman memunculkan kebutuhan untuk ijtihad kontemporer yang tetap menjaga maqashid syariah dan prinsip-prinsip syar’i. Sinergi antara keduanya sangat penting dalam menjaga keabsahan dan kemudahan umat Islam dalam melaksanakan ibadah haji di era modern.
Referensi
– Al-Muwaththa’ – Imam Malik
– Al-Umm – Imam Syafi’i
– Al-Mabsuth – Imam Sarakhsi (Hanafi)
– Al-Mughni – Ibnu Qudamah (Hanbali)
– Bidayatul Mujtahid – Ibnu Rusyd
– Fiqih Sunnah – Sayyid Sabiq
– Fatawa Lajnah Da’imah Saudi Arabia
– Keputusan MUI & Majma’ Fiqh Islami OIC