Menatap Abad Kedua PERSIS: Transisi dari Purifikasi Menuju Kemandirian Peradaban
Oleh: Ichwan Muttaqin

Selama satu abad, nama Persatuan Islam (PERSIS) telah terpatri kuat dalam sejarah pergerakan Islam Indonesia sebagai “penjaga gawang” kemurnian akidah. Sejak didirikan pada 1923 di Bandung, ormas ini identik dengan ketegasannya memberantas TBC (Takhayul, Bid’ah, Churafat) dan semboyan “Kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah”.

Namun, zaman telah berubah. Tantangan umat Islam di Indonesia hari ini tidak lagi sekadar masalah perdebatan fikih di atas mimbar, melainkan ketertinggalan ekonomi, disrupsi teknologi, dan krisis moralitas global. Melihat dinamika terkini, masa depan PERSIS tampaknya tidak akan lagi ditentukan oleh seberapa keras mereka berdebat, melainkan seberapa cerdas mereka beradaptasi.

PERSIS kini tengah menapaki transisi krusial: bergerak dari sekadar gerakan purifikasi teologis menuju gerakan pembangunan peradaban yang mandiri.

Jihad Ekonomi: Tulang Punggung Baru

Pergeseran paling mencolok dalam wajah masa depan PERSIS adalah orientasi ekonominya. Selama puluhan tahun, banyak ormas Islam, termasuk PERSIS, “terlena” dalam zona nyaman pengelolaan dana umat berbasis filantropi (infak, sedekah, dan wakaf konvensional).

Masa depan menuntut narasi yang berbeda. Keputusan PERSIS untuk mulai mengelola aset-aset strategis—termasuk penerimaan izin usaha pertambangan dan pengembangan badan usaha milik jamiyyah—adalah sinyal kuat bahwa ormas ini sedang melakukan rebranding kemandirian.

“Kemandirian Jamiyyah bukan lagi jargon, melainkan kebutuhan eksistensial. Tanpa kemapanan ekonomi, idealisme dakwah rentan tergerus oleh pragmatisme politik atau ketergantungan pada donatur eksternal.”

Jika berhasil dieksekusi dengan manajemen profesional yang amanah, PERSIS di masa depan akan bertransformasi menjadi korporasi umat. Pesantren-pesantren PERSIS tidak lagi hanya akan dikenal sebagai pencetak ulama fikih, tetapi juga inkubator santri technopreneur yang menopang ekonomi bangsa.

Dakwah di Era Algoritma

Tantangan kedua adalah transformasi metode dakwah. Di masa lalu, kekuatan PERSIS terletak pada mujadalah (debat terbuka) dan publikasi cetak (majalah, risalah). Namun, Gen Z dan milenial—demografi terbesar Indonesia saat ini—hidup di dunia algoritma media sosial yang serba cepat dan visual.

Masa depan PERSIS bergantung pada kemampuannya menerjemahkan dalil-dalil yang “kaku” dan “tegas” menjadi konten yang relevan dan solutif bagi anak muda. PERSIS tidak boleh lagi terjebak pada citra “Jago Kandang” yang hanya populer di Jawa Barat.

Digitalisasi bukan sekadar membuat akun YouTube, tetapi membangun ekosistem data. Sistem keanggotaan digital (SIGAP) dan integrasi data pendidikan yang sedang digalakkan adalah langkah awal yang tepat. Di masa depan, PERSIS harus mampu menjadi oase bagi kegersangan spiritual netizen melalui pendekatan yang lebih inklusif tanpa mengorbankan prinsip syariah.

Regenerasi dan Peran Kaum Muda

Wajah PERSIS di masa depan akan sangat ditentukan oleh organ otonomnya: Pemuda, Pemudi, Hima, dan Himi PERSIS dan juga IPP dan IPPI. Ada tren positif di mana kader muda PERSIS mulai berani keluar dari isu-isu tradisional. Mereka kini berbicara tentang krisis iklim, literasi digital, hingga kebijakan publik. Intelektualitas yang dipadukan dengan kekakuan dalil (dalam artian positif: keteguhan prinsip) akan melahirkan profil kader yang unik: Modern dalam pemikiran, namun puritan dalam pengamalan.

Jika regenerasi ini berjalan mulus, PERSIS akan terhindar dari penyakit “gerontokrasi” (kekuasaan yang didominasi kaum tua) dan tetap relevan bagi setiap generasi.

Tantangan: Menjaga Keseimbangan

Meski optimisme itu ada, jalan ke depan tidaklah mulus. Risiko terbesar bagi PERSIS adalah krisis identitas. Saat PERSIS sibuk berbisnis dan beradaptasi dengan budaya pop digital, ada bahaya laten di mana semangat “ruju’ ilal Quran wa Sunnah” hanya menjadi slogan kosong tanpa ruh. Tantangannya adalah: Bagaimana menjadi kaya dan modern, tapi tetap zuhud dan tegas dalam syariat?

Selain itu, pengelolaan bisnis skala besar (seperti tambang atau properti) memiliki risiko sengketa dan fitnah yang tinggi. Kegagalan dalam tata kelola bisnis bisa menjadi bumerang yang merusak kredibilitas dakwah yang telah dibangun satu abad lamanya.

Kesimpulan

Masa depan PERSIS adalah tentang keseimbangan. Ormas ini sedang bertransformasi dari organisasi yang hanya “mengurus langit” (ibadah mahdhah) menjadi organisasi yang juga serius “mengurus bumi” (ekonomi dan sosial). Jika PERSIS mampu memadukan ketegasan akidah warisan A. Hassan dengan manajemen modern dan kemandirian ekonomi, maka PERSIS tidak hanya akan bertahan, tetapi akan memimpin sebagai model ormas Islam modern yang berdikari di abad kedua kehidupannya

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *