Konsep Ketentuan Pajak dan Zakat di Indonesia dan Upaya sinkronisasi
Oleh: Ichwan Muttaqin
A. Pendahuluan
Pajak dan zakat dalam presepktif kebijakan keuangan Islam merupakan salah satu sumber pendapatan keuangan negara. Melalui instrumen Pajak dan zakat pendapatan negara dapat dihimpun baik secara bersamaan maupun terpisah. Dalam masa kehkilafahan Islam Pajak dan zakatdilaksanakan bersamaan dan dibedakan pada segmentasi atau objek wajib pajak dan wajib zakat. Sementara di era kekinian pajak dan zakat dilaksanakan sesaui regulasi negara masing-masing.
B. Sudut Pandang Sejarah
Sinkronisasi zakat dan wakaf sudah terjadi di masa ke kholifahan, melihat sejarah pada zaman Nabi dan khalifah sesudahnya, zakat merupakan satu-satunya sistem perpajakan bagi umat Islam di luar kharaj yakni pajak atas tanah. Sekarang umat Islam berada pada abad 21 dengan situasi dan kondisi yang sangat berbeda dari masa lalu. Kita hidup di dunia modern dengan sistem perpajakan yang persentasenya lebih tinggi dari persentase zakat.
Pada masa Khalifah Umar Al-Faruq atau yang sering kita kenal Umar Bin Khatab, selain zakat adapula pemasukan negara pada pemerintahannya, yaitu kharaj (pajak penghasilan) dan jizyah (pajak individu). Subjek (orang yang kena wajib pajak) dari kedua sistem pemasukan negara tersebut dikenakan pada penduduk non-Muslim yang berada dalam wilayah kekuasaan Islam (al-zdimmi), mereka wajib membayar fay’i (harta rampasan tidak melalui peperangan) dalam bentuk jizyah dan kharaj.
Simpulnya pada pandangan sejarah zakat dan pajak bukan sesautu yang baru dan harus terpisahkan, keduanya dapat berjalan beriringan. Sehingga seperti apa yang disampaikan oleh Nurul Huda dalam buku Publik Keuangan Islam pajak dan zakat jika disatukan akan menjadi instrumen keuangan yang sangat kuat.
C. Tentang Zakat dan Pajak
Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dikerjakan oleh setiap muslim yang memiliki kemapuan mengeluaraknnya. Dalam pandangan yang lebih luas zakat sebagai Ibadah dalam bidang harta yang mengandung hikmah dan manfaat yang demikian besar dan mulia, baik yang berkaitan dengan orang yang berzakat (muzaki), penerima harta zakat (mustahik), maupun bagi masyarakat keseluruhan. Menurut Yûsuf al-Qaradhawi, secara umum terdapat dua tujuan dan ajaran zakat, yaitu untuk kehidupan individu dan untuk kehidupan sosial kemasyarakatan.
Sementara pajak merupakan perintah yang wajib dilaksanakan bagi umat Islam dalam koridor pertanggung jawaban masyarakat terhadap negara (ulûl amri) dan demi kemaslahatan umat. Dalam hukum Islam klasik dikenal tiga sistem pemungutan pajak. Pertama, jizyah atau pajak kepala yaitu pajak yang dikenakan kepada non-Muslim yang hidup di negara/pemerintahan Islam (kâfir zimni) dengan mematuhi peraturan dan perundang- undangan pemerintahan Islam untuk melindungi jiwa, keselamatan, kemerdekaan dan hak-hak asasi mereka. Dalam menghadapi negara non-Islam terdapat tiga pilihan yang ditawarkan Islam yaitu masuk Islam, membayar jizyah, atau diperangi. Bagi yang masuk Islam mereka aman, tidak diperangi dan tidak ada kewajiban membayar jizyah. Bagi yang tidak mau masuk Islam ada dua pilihan yaitu membayar jizyah atau diperangi. Kedua, Kharaj atau pajak bumi secara histori pajak ini berlaku bagi tanah yang diperoleh kaum muslimin lewat peperangan yang kemudian dikembalikan dan digarap oleh para pemiliknya. Sebagai imbalannya maka pemiliknya mengeluarkan pajak bumi kepada pemerintah Islam. Lebih luas kharaj menjadi instrumen keuangan negara yang melekat seperti mana pada kitab yang di tulis oleh Imam Abu Yusuf dengan judul kitab Al Kharaj. Penulisan kitab al-Kharaj versi
Abu Yusuf didasarkan pada perintah dan pertanyaan khalifah Harun Ar-Rasyid mengenai berbagai persoalan perpajakan. Dengan demikian, kitab al-Kharaj ini mempunyai orientasi birokratik karena ditulis untuk merespon permintaan khalifah Harun Ar-Rasyid yang ingin menjadikannya sebagai buku petunjuk administratif dalam rangka mengelola lembaga Baitul Mal dengan baik dan benar, sehingga Negara dapat hidup makmur dan rakyat tidak terzalimi. Ketiga adalah Usyur yaitu pajak perdagangan, atau bea cukai (pajak impor dan ekspor). Mengingat bahwa kebutuhan biaya pembangunan dalam arti luas sangat besar termasuk jalannya roda pemerintahan.
D. Sinkronisasi Pajak dan Zakat di Indonesia
Di Indonesia upaya pemerintah melakukan sinkronisasi antara pajak dan zakat sudah dilakukan melalui upaya pemerintah untuk meringankan beban muzaki telah dilakukan pada tanggal 20 Agustus 2010. Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2010 tentang Zakat Atau Sumbangan Keagamaan Yang Sifatnya Wajib Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto. Peraturan Pemerintah inilah sebenarnya yang merupakan ketentuan pelaksanaan dari Pasal 9 ayat (1) Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-163/PJ/2009. Sementara regulasi zakat yang di atur oleh UU No. 23 Tahun 2011 pada pasa 22 menyebutkan “Zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari penghasilan kena pajak” serta pada pasal 23 disebutkan “Baznas atau LAZ wajib memberikan bukti setoran zakat kepada setiap muzaki (pemberi zakat), dan bukti tersebut digunakan sebagai pengurang penghasilan kena pajak.“Baznas atau LAZ wajib memberikan bukti setoran zakat kepada setiap muzaki (pemberi zakat), dan bukti tersebut digunakan sebagai pengurang penghasilan kena pajak.”
Akan tetapi dalam sebuah penelitian Masnun Tahir dan Zusiana dengan judul Integrasi Zakat dan Pajak di Indonesia Dalam Tinjuan Hukum Positif dan Hukum Islam. pada dataran aplikatif regulasi pemerintah di atas belum sepenuhnya terlaksana karena beberapa faktor yang melatarbelakanginya, antara lain: Pertama, Masih terjadi perdebatan ulama mengenai penggabungan pajak dan zakat. Kedua, Manajemen pengelolaan zakat yang masih cenderung konvensional dan cenderung mengesampingkan akuntabilitas dan transparansi. Ketiga, sosialisasi regulasi pemerintah yang cenderung kurang. Dan Keempat, regulasi setengah hati dari pemerintah dengan kebijakan ini.