Hukum Infak, Sedekah, dan Hibah: Tinjauan Konsep, Dasar Syariah, dan Kedudukan dalam Hukum Indonesia
Oleh: Ichwan Muttaqin

Pendahuluan

Tatanan hukum Islam secara komprehensif mengatur aspek filantropi dan transaksi keuangan, yang bertujuan untuk distribusi kekayaan yang adil dan pemberdayaan ekonomi umat. Dalam konteks Hukum Ekonomi Syariah (HES), dalam Islam selain zakat terdapat tiga konsep utama yang merefleksikan transfer harta berbasis kebajikan: Infak, Sedekah, dan Hibah. Ketiga konsep ini, meskipun serupa dalam tujuan amal, memiliki definisi, dasar syariah, dan kedudukan hukum yang berbeda, terutama dalam regulasi di Indonesia. Materi ini bertujuan untuk menjelaskan konsep, dasar hukum syariah, regulasi di Indonesia, serta membedah kerangka hukum Infak, Sedekah, dan Hibah dari perspektif HES.

1. Definisi dan Dasar Hukum Syariah Infak/Sedekah

Infak dan Sedekah merupakan dua istilah yang sering digunakan secara bergantian, namun memiliki nuansa makna yang berbeda dalam fikih.

A. Definisi Infak

Secara etimologi, infak (dari kata nafaqa) berarti mengeluarkan atau membelanjakan harta. Dalam terminologi syariah, infak adalah mengeluarkan sebagian harta benda yang dimiliki untuk kepentingan yang diperintahkan dalam ajaran Islam, baik yang bersifat wajib (seperti zakat) maupun yang bersifat sunnah (anjuran). Fokus utama infak adalah pada aspek finansial (materi/harta).

B. Definisi Sedekah

Sedekah (dari kata shadaqa) secara harfiah berarti kebenaran. Dalam syariah, sedekah memiliki cakupan yang lebih luas daripada infak. Sedekah didefinisikan sebagai pemberian sukarela yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain atau pihak tertentu, yang tidak terikat oleh waktu dan jumlah, dan tidak mengharapkan imbalan. Keunikan sedekah adalah ia tidak terbatas pada harta (materi), tetapi juga mencakup perbuatan non-materi, seperti senyuman, menyingkirkan duri di jalan, atau memberi nasihat baik (sebagaimana hadis Nabi SAW). Oleh karena itu, infak pasti sedekah, tetapi sedekah belum tentu infak.

C. Dasar Hukum Syariah

Dasar hukum bagi pelaksanaan Infak dan Sedekah bersifat syar’i dan sangat kuat, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an dan Hadis.

  1. Al-Qur’an: Allah SWT banyak mendorong umat Islam untuk berinfak dan bersedekah. Contohnya dalam Surah Al-Baqarah ayat 261, yang menggambarkan pahala berinfak.

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki…” (QS. Al-Baqarah: 261).

  1. Hadis: Rasulullah SAW menekankan bahwa setiap perbuatan baik adalah sedekah.

“Setiap persendian manusia wajib bersedekah setiap hari di mana matahari terbit di dalamnya. Engkau mendamaikan antara dua orang adalah sedekah. Engkau membantu seseorang menaikkan hewan tunggangannya, lalu engkau membawanya atau menaikkannya ke atasnya, itu sedekah. Perkataan yang baik adalah sedekah. Setiap langkah yang engkau ayunkan menuju salat adalah sedekah. Dan engkau menyingkirkan gangguan dari jalan adalah sedekah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

2. Regulasi dan Kedudukan Hukum Infak/Sedekah di Indonesia

Di Indonesia, pengaturan Infak dan Sedekah sebagian besar terintegrasi dalam kerangka pengelolaan dana sosial keagamaan yang lebih luas.

A. Regulasi

Regulasi utama yang mengatur pengelolaan Infak dan Sedekah di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (UU Zakat). Meskipun fokus utamanya adalah Zakat, UU ini secara eksplisit mencakup Infak dan Sedekah (dikenal sebagai ZIS).

  1. Kelembagaan: Pengelolaan ZIS dilakukan oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang mendapatkan izin dari pemerintah. Lembaga-lembaga ini wajib melaporkan dan mempertanggungjawabkan pengumpulan dan penyaluran dana secara transparan.
  2. Peran Negara: Negara memberikan perlindungan dan pengawasan terhadap dana Infak/Sedekah agar digunakan sesuai dengan syariah dan prinsip akuntabilitas.

B. Kedudukan Hukum

Kedudukan hukum Infak dan Sedekah di Indonesia adalah sebagai dana sosial keagamaan non-pajak yang sah dan diakui negara.

  1. Pengurangan Penghasilan Kena Pajak: Berdasarkan peraturan perpajakan, Wajib Pajak yang memberikan Infak/Sedekah melalui lembaga resmi (BAZNAS/LAZ) yang disahkan pemerintah dapat memanfaatkannya sebagai pengurang penghasilan bruto (bukan pengurang pajak), yang secara legal mengurangi jumlah penghasilan kena pajak.
  2. Akad Hukum: Dalam HES, akad Infak dan Sedekah dikategorikan sebagai Akad Tabarru’ (non-komersial), yaitu perjanjian yang tujuannya adalah kebajikan dan tolong-menolong, bukan mencari keuntungan. Penyerahan harta melalui Infak/Sedekah adalah penyerahan kepemilikan mutlak (hibah) dengan motif amal, dan bersifat sekali jadi (tunai).

3. Perbedaan Hukum Infak, Sedekah, dan Hibah dalam Perspektif HES

Meskipun Infak, Sedekah, dan Hibah adalah bentuk-bentuk pengeluaran harta tanpa imbalan, HES membedakannya berdasarkan ruang lingkup, motivasi, dan formalitas akad.

Aspek PembedaInfakSedekahHibah
Ruang LingkupKhusus Harta (Finansial).Luas (Finansial dan Non-finansial).Khusus Harta/Benda tertentu.
Sifat KewajibanBisa Wajib (misalnya zakat) atau Sunnah.Sunnah (Anjuran).Sunnah, tetapi lebih bersifat pemberian/hadiah formal.
Tujuan UtamaMembelanjakan harta untuk kemaslahatan umat/kebaikan.Mencari pahala dan membenarkan iman (umum).Mengalihkan kepemilikan harta sebagai hadiah atau donasi.
Akad (HES)Akad Tabarru’ (Pengeluaran kebajikan).Akad Tabarru’ (Pengeluaran kebajikan).Akad Tabarru’ dengan formalitas dan rukun yang lebih ketat.
Kedudukan HukumDana sosial keagamaan (ZIS) dengan regulasi khusus.Dana sosial keagamaan (ZIS) dengan regulasi khusus.Pengalihan kepemilikan (inter vivos) diatur dalam Hukum Perdata (BW) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Karakteristik FormalKurang formal.Kurang formal.Lebih formal; melibatkan unsur penyerahan (penerimaan) dan tujuan spesifik yang jelas.

Perbedaan Kunci Hibah

Hibah adalah pemberian harta dari seseorang kepada orang lain secara cuma-cuma dan tanpa syarat ketika pemberi masih hidup. Dari sudut pandang HES:

  1. Transfer Kepemilikan (Pilar Akad): Hibah melibatkan rukun (pilar) yang lebih spesifik, yaitu adanya Pemberi Hibah (Wahib), Penerima Hibah (Mawhub Lahu), Objek Hibah (Mawhub), dan Ijab Qabul (serah terima). Dalam hukum Indonesia (KHI), Hibah wajib dilakukan secara sukarela, tidak dapat ditarik kembali (kecuali Hibah dari orang tua kepada anak), dan harus diserahkan objeknya.
  2. Motivasi: Sementara Infak/Sedekah bermotif murni spiritual dan sosial, Hibah dapat bermotif spiritual (amal), kekeluargaan (hadiah), atau ekonomi (donasi).
  3. Regulasi Hukum Formal: Di Indonesia, Hibah diatur lebih formal, khususnya dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan KUH Perdata, yang menekankan pada kekuatan pembuktian dan proses pengalihan hak (misalnya, hibah tanah memerlukan akta).

Kesimpulan

Infak, Sedekah, dan Hibah adalah pilar penting dalam kerangka HES yang bertujuan menciptakan distribusi kekayaan yang merata. Infak adalah pengeluaran finansial untuk kebaikan, Sedekah adalah amal kebajikan yang cakupannya lebih luas (mencakup non-finansial), dan keduanya diatur sebagai dana sosial keagamaan (ZIS) di bawah UU Zakat di Indonesia. Sementara itu, Hibah adalah transfer kepemilikan aset secara formal (inter vivos) yang diatur lebih ketat oleh KHI dan Hukum Perdata. Memahami perbedaan hukum, akad (tabarru’), dan kedudukan regulasi ketiga konsep ini sangat esensial bagi praktisi dan akademisi HES untuk memastikan kepatuhan syariah dan akuntabilitas dalam praktik filantropi Islam di Indonesia.

Dibuat untuk keperluan materi kuliah Hukum Ekonomi Syariah.

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *