Mitagasi & Resiliensi Musibah dalam Perspektif Islam: Telaah QS Al-Baqarah 155-157
Oleh: Ichwan Muttaqin, M.E.Sy.
Dalam Islam, musibah adalah bentuk ujian dari Allah untuk mengukur kualitas iman dan kesabaran hamba-Nya. Musibah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Setiap individu, tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, maupun tingkat keimanannya, pasti pernah dan akan mengalami musibah dalam berbagai bentuknya. Dalam perspektif Islam, musibah tidak dipandang semata-mata sebagai peristiwa negatif, tetapi sebagai fenomena teologis yang sarat dengan makna, hikmah, dan tujuan ilahiah. Cara pandang inilah yang membedakan Islam dari perspektif materialistik yang cenderung melihat musibah hanya sebagai kerugian dan penderitaan semata.
Beribicara perihal musibah tentunya sudah sering kita bahas dengan mendalam, domain sabar, ikhlas dan tawakal menjadi obat penenang bagi orang bertaqwa. Surah Al-Baqarah ayat 155-156 memberikan blueprint fundamental mengenai bagaimana seorang muslim seharusnya merespons guncangan (shock). Makalah ini akan membahas bagaimana ayat tersebut menjadi landasan teologis bagi konsep mitagasi dan resiliensi (pemulihan) Hal tersebut di jelaskan secara detai dalam Al Quran surat Al Baqarah ayat 155
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ
Kami pasti akan mengujimu dengan sedikit ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah (wahai Nabi Muhammad,) kabar gembira kepada orang-orang sabar,
Secara tekstual manajemen mitigas pada ayat ini menyebutkan lima jenis ujian yang memiliki korelasi langsung dengan persiapan:
- Al-Khauf (Ketakutan): Takut bencana musibah, Kehawatir yang berlebih.
- Al-Juu’ (Kelaparan): Krisis pangan, inflasi harga pokok, atau kemiskinan ekstrem.
- Naqshin minal Amwal (Kekurangan Harta): Resesi, inflasi, kerugian bisnis, atau hilangnya aset.
- Al-Anfus (Jiwa): Berkurangnya tenaga kerja produktif akibat wabah atau bencana.
- Ath-Thamarat (Buah-buahan): Gagal panen atau penurunan output produksi (pertanian/industri).
Memahami Konsep Kepemilikan (Istikhlaf) sebagai resiliensi Musibah
Resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk bertahan dan beradaptasi dalam menghadapi kesulitan, serta bangkit kembali dari tekanan atau trauma. Hal ini dengan menyadari tentang kepemilikan di tandai dalam ayat Al Baqorah 156.
اَلَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌۗ قَالُوْٓا اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ
(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn” (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kami akan kembali).
Tafsir Al Wajiz (Wahbah Zuhaili) mentafsirkan sebagai berikut:
Kehidupan manusia memang penuh cobaan. Dan Kami pasti akan menguji kamu untuk mengetahui kualitas keimanan seseorang dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Bersabarlah dalam menghadapi semua itu. Dan sampaikanlah kabar gembira, wahai Nabi Muhammad, kepada orang-orang yang sabar dan tangguh dalam menghadapi cobaan hidup, yakni orang-orang yang apabila ditimpa musibah, apa pun bentuknya, besar maupun kecil, mereka berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Mereka berkata demikian untuk menunjukkan kepasrahan total kepada Allah, bahwa apa saja yang ada di dunia ini adalah milik Allah; pun menunjukkan keimanan mereka akan adanya hari akhir. Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk sehingga mengetahui kebenaran.
Rahmat Allah sebagai hadiah yang diberikan.
اُولٰۤىِٕكَ عَلَيْهِمْ صَلَوٰتٌ مِّنْ رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُهْتَدُوْنَ
Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Islam mengajarkan bahwa kehidupan dunia adalah arena ujian. Musibah merupakan bagian dari sunnatullah yang ditetapkan Allah untuk menguji kualitas iman, kesabaran, dan keteguhan manusia. Al-Qur’an menegaskan bahwa ujian berupa rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan hasil usaha merupakan keniscayaan dalam kehidupan. Namun, Allah memberikan kabar gembira bagi orang-orang yang mampu bersabar dalam menghadapi ujian tersebut. Dengan demikian, musibah bukanlah tanda kebencian Allah, melainkan sarana pembinaan spiritual agar manusia naik ke derajat keimanan yang lebih tinggi.
Dari penjelasan di atas simpulnya, Islam tidak menolak adanya musibah, tetapi menyediakan sistem imun yang kuat untuk menghadapinya, mengubah ujian menjadi sarana kenaikan derajat sosial dan spiritual. perspektif Islam terhadap musibah bersifat komprehensif dan transformatif. Musibah tidak hanya dipahami sebagai penderitaan, tetapi sebagai instrumen pendidikan spiritual, sarana penghapus dosa, bentuk kasih sayang Allah, serta media muhasabah diri. Cara pandang ini membentuk kepribadian Muslim yang tangguh, optimis, dan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai keimanan dalam segala kondisi kehidupan. Dalam kerangka inilah, musibah menjadi momentum untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memperbaiki kualitas hidup, baik secara individual maupun sosial.
