Kajian Fatwa Akad Jual Beli (Murabahah, Salam, dan Istishna’) dalam Bingkai DSN-MUI.
Oleh: Ichwan Muttaqin, M.E.Sy.
Akad adalah sesuatu kontrak atau janji yang harus di penuh antara orang yang berakad. Fungsi akad di dalam Islam sangat penting dikarenakan akad di hadirkan sebagai kaifiyat yang syah dalam melakukan transaksi. Berbagai ragam jenis akad, namun secara fundamental akad adalah hal yang wajib yang perlu dilaksanakan, termasuk akad jual beli.
Akad jual beli merupakan tulang punggung utama dalam sistem keuangan syariah, menjadi instrumen vital yang membedakannya dari sistem konvensional. Dalam konteks Indonesia, peran Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) sangat krusial sebagai otoritas yang mengeluarkan fatwa, memastikan kesesuaian praktik transaksi di Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dengan prinsip-prinsip Islam. Tiga akad jual beli utama yang banyak diterapkan, khususnya dalam pembiayaan, adalah Murabahah, Salam, dan Istishna’. Kajian fatwa DSN-MUI terhadap ketiga akad ini menjadi penting untuk memahami landasan hukum syariah dan implikasinya dalam praktik ekonomi.
Analisis Fatwa DSN-MUI tentang Akad Jual Beli melalui Fatwa DSN-MUI tidak hanya memberikan definisi dan rukun akad, tetapi juga menetapkan dhawabith (ketentuan) dan hudud (batasan) yang harus dipatuhi. Agar dapat mengetahui secara rinci berikut adalah beberapa akad di dalam pembiayaan yang telah di ulas DSN-MUI:
A. Akad Murabahah
Murabahah adalah akad jual beli barang dengan menegaskan harga perolehan (modal) kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba yang disepakati. Analisis Fatwa DSN-MUI (No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah dan No. 110/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Jual Beli)
- Hak Milik: Fatwa secara tegas mewajibkan LKS sebagai penjual harus memiliki barang yang diperjualbelikan sebelum menjualnya kepada nasabah (pembeli). Ini adalah dhawabith krusial untuk menghindari praktik bai’ al-ma’dum (menjual barang yang belum dimiliki) dan merupakan pembeda utama dari kredit konvensional.
- Transparansi Harga: Penjual (LKS) wajib memberitahukan secara jujur harga perolehan (modal) kepada pembeli. Keuntungan (margin) harus disepakati di awal dan menjadi bagian dari harga jual.
- Risiko: Risiko atas barang, sebelum diserahkan kepada pembeli, sepenuhnya ditanggung oleh penjual (LKS). Hal ini memperkuat substansi akad jual beli yang mensyaratkan transfer kepemilikan dan risiko.
- Praktik di LKS: Dalam praktiknya, Murabahah sering digunakan untuk pembiayaan konsumtif atau investasi jangka pendek-menengah, di mana LKS membeli barang atas permintaan nasabah dan menjualnya kembali secara tangguh (angsuran). Fatwa juga mengatur tentang denda keterlambatan dan uang muka (urbun) untuk menjaga kepastian transaksi dan komitmen nasabah.
B. Akad Salam
Salam adalah jual beli pesanan atas suatu barang dengan kriteria tertentu yang harganya wajib dibayar tunai di muka, sedangkan barangnya diserahkan di kemudian hari. Analisis Fatwa DSN-MUI (No. 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam)
- Karakteristik: Akad ini berfungsi sebagai pembiayaan bagi produsen atau petani, di mana pembeli (LKS) memberikan modal kerja penuh di awal.
- Spesifikasi Barang: Fatwa menekankan bahwa barang yang dipesan (maslam fiih) harus jelas spesifikasinya dan dapat diukur, ditakar, atau ditimbang (tidak boleh gharar). Jenis, kualitas, dan kuantitasnya harus dijelaskan secara rinci.
- Pembayaran Tunai: Syarat utama Salam adalah pembayaran harga (modal) secara penuh di awal akad. Ini membedakannya dari Istishna’ dan jual beli biasa.
- Jaminan Penyerahan: Fatwa memungkinkan adanya jaminan dari penjual untuk memastikan barang diserahkan tepat waktu.
- Salam Paralel: Dalam praktik perbankan, sering diterapkan Salam Paralel, di mana LKS bertindak sebagai pembeli dalam akad Salam pertama, dan sekaligus menjadi penjual dalam akad Salam kedua kepada pihak lain. Fatwa mengizinkan Salam Paralel selama kedua akad tersebut berdiri sendiri dan tidak saling terkait.
- Pemanfaatan: Umumnya digunakan dalam sektor pertanian untuk membantu petani mendapatkan modal tanam.
C. Akad Istishna’
Istishna’ adalah jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan suatu barang dengan kriteria tertentu yang pembayaran harganya berdasarkan kesepakatan antara pemesan (mustashni’) dan penjual/pembuat (shani’). Analisis Fatwa DSN-MUI (No. 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna’ dan No. 22/DSN-MUI/III/2002 tentang Istishna’ Paralel)
- Obyek Akad: Obyek Istishna’ adalah barang yang memerlukan proses pembuatan (manufaktur) atau konstruksi. Ini membedakannya dari Murabahah (barang sudah ada) dan Salam (barang belum ada, tetapi tidak wajib dibuat).
- Cara Pembayaran: Pembayaran harganya lebih fleksibel dibandingkan Salam; dapat dilakukan di muka, secara angsuran, atau ditangguhkan setelah barang selesai dan diserahkan. Fleksibilitas ini diserahkan pada kesepakatan.
- Istishna’ Paralel: Sama seperti Salam, praktik LKS sering menggunakan Istishna’ Paralel. LKS bertindak sebagai penjual (kepada nasabah) dan menunjuk pihak lain (kontraktor/produsen) sebagai pembuat barang (Istishna’ kedua). Fatwa mengizinkan Istishna’ Paralel dengan syarat akad pertama dan kedua tidak saling bergantung. Hal ini diterapkan luas dalam pembiayaan konstruksi, pembangunan rumah, atau pengadaan barang manufaktur.
- Perbedaan dengan Salam: Meskipun sama-sama pesanan, Istishna’ fokus pada proses pembuatan barang tertentu (seperti rumah atau mesin), sementara Salam fokus pada barang yang dapat dijelaskan sifatnya dan biasa diperdagangkan (seperti hasil panen).
Simpulnya, Fatwa DSN-MUI telah berhasil memformulasikan kerangka hukum syariah yang detail dan aplikatif untuk akad Murabahah, Salam, dan Istishna’, menjadikannya pedoman wajib bagi LKS di Indonesia. Seperti akad murabahah menuntut kepemilikan barang oleh LKS sebelum menjualnya, dengan transparansi harga pokok. Dalam akad salam mensyaratkan pembayaran tunai di muka untuk barang yang akan diserahkan di masa depan. Sedangkan pada akad Istishna’ memberikan fleksibilitas pembayaran untuk barang yang memerlukan proses pembuatan atau konstruksi. Kajian fatwa-fatwa ini menunjukkan komitmen DSN-MUI dalam menjaga keabsahan syariah transaksi ekonomi, sekaligus adaptif terhadap kebutuhan praktis LKS melalui konsep seperti Murabahah dan Istishna’ Paralel, sehingga mampu menjadi solusi pembiayaan yang syar’i dan relevan dalam sistem keuangan modern.
