FIQIH ZAKAT: SYARAT WAJIB, OBJEK, NISAB & HAUL, SERTA MUSTAHIK DALAM PERSPEKTIF MADZHAB DAN PERSATUAN ISLAM (PERSIS).

Oleh: Ichwan Muttaqin, M.E.Sy.
(Materi ini disampaikan dalam perkulaiahan di STAIPI Jakarta).

Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang memiliki dimensi ibadah (vertikal) dan sosial-ekonomi (horizontal) yang sangat fundamental. Secara bahasa, zakat berarti tumbuh, suci, berkah, dan terpuji. Dalam terminologi syariat, zakat adalah nama bagi harta tertentu yang wajib dikeluarkan dari harta tertentu, disalurkan kepada golongan tertentu (mustahik) dengan syarat-syarat tertentu. Kewajiban zakat didasarkan pada al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijmak ulama.

Selain itu, zakat bukan sekadar kewajiban ritual, tetapi juga mekanisme distribusi kekayaan dan instrumen pemberdayaan umat. Dalam literatur fikih, zakat dibahas secara rinci dalam aspek hukum, syarat, dan pelaksanaannya, yang secara umum disepakati oleh para ulama, meskipun terdapat perbedaan pandangan dalam beberapa rincian antar madzhab.

Perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan ulama, khususnya para Imam Madzhab Fiqih, dalam merinci ketentuan zakat menunjukkan kekayaan interpretasi nash-nash syar’i. Selain itu, organisasi keagamaan seperti Persatuan Islam (PERSIS) juga merumuskan pandangan fiqih zakatnya melalui Dewan Hisbah untuk menjawab tantangan dan konteks kontemporer, seperti zakat profesi dan perhiasan. Hal tersebut dapat dilihat dalam Kitab Al Fatawa Karya KH. Aceng Zakaria membahas secara lengkap mengenai Fiqih Zakat. Selaiin itu pembahasan lain dalam beberapa kitab yang di tulis oleh ulama Persatuan Islam membahas mengenai problematiak perzakatan.

Namun sebelum menyelami hal itu ada baiknya kita memahami secara terperinci mengenai pengertian zakat itu sendiri. Para ulama fikih sepakat bahwa zakat diwajibkan dengan terpenuhinya beberapa syarat utama, baik yang berkaitan dengan muzakki (orang yang berzakat) maupun dengan harta yang dizakatkan.

1. Muzaki

a. Syarat bagi Muzakki:

  1. Islam – Zakat hanya diwajibkan bagi Muslim. Orang kafir tidak diwajibkan menunaikan zakat, meskipun mereka akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.
  2. Merdeka – Menurut jumhur, budak tidak wajib zakat karena tidak memiliki kepemilikan penuh atas harta.
  3. Kepemilikan sempurna (al-milk at-tam) – Harta tersebut benar-benar dimiliki dan dikuasai penuh oleh muzakki, tanpa sengketa atau pembatasan kepemilikan.
  4. Mencapai nisab dan haul (untuk jenis harta tertentu) – Harta yang belum mencapai batas minimum (nisab) atau belum mencapai jangka waktu tertentu (haul) belum wajib dizakati.

b. Syarat bagi Harta:
Harta yang wajib dizakati harus:

  1. Halal diperoleh;
  2. Berkembang atau berpotensi berkembang;
  3. Mencapai batas nisab;
  4. Tidak dalam keadaan digunakan untuk kebutuhan pokok.

Dalam fikih klasik, objek zakat dibagi ke dalam beberapa jenis utama. Namun, dalam konteks kontemporer, ulama modern menambahkan kategori baru yang relevan dengan perkembangan ekonomi saat ini.

c. Zakat Harta (Amwāl):
Meliputi:

  1. Emas dan perak, serta uang (qiyas modern);
  2. Binatang ternak (unta, sapi, kambing);
  3. Hasil pertanian (gandum, beras, kurma, dll.);
  4. Barang perdagangan.

d. Zakat Profesi dan Pandangan Persatuan Islam
Zakat profesi atau zakat al-māl al-mustafād merupakan pengembangan kontemporer yang disepakati sebagian ulama modern seperti Yusuf al-Qaradawi. Zakat ini dikenakan pada penghasilan dari gaji, honorarium, atau jasa profesional yang melebihi kebutuhan pokok dan mencapai nisab.

Dewan Hisbah PERSIS dalam beberapa keputusan, cenderung tidak menetapkan kewajiban Zakat Profesi melainkan adanya infak profesi sebagai solusi yang di tawarkan. Pandangan ini dikarenakn tidak sejalan dengan pemikira ulama kontemporer yang meng-qiyas-kannya pada zakat pertanian (zakat az-zuru’ wa ats-tsimar), yaitu dikeluarkan saat menerima (panen/gajian) tanpa menunggu haul, dengan kadar 2,5%. PERSIS memandang bahwa penghasilan rutin seperti gaji memiliki kemiripan dengan hasil panen yang diperoleh secara periodik.

2. Nisab dan Haul

a. Nisab

  • Emas: 20 dinar = 85 gram emas.
  • Perak: 200 dirham = 595 gram perak.
  • Hasil pertanian: 5 % pengurusan Air atau10% air hujan
  • Kambing: 40 ekor.
  • Sapi: 30 ekor.
  • Unta: 5 ekor.

b. Haul
Haul adalah masa kepemilikan harta selama satu tahun penuh (12 bulan hijriah). Namun, tidak semua zakat mensyaratkan haul. Misalnya, zakat hasil pertanian wajib dikeluarkan setiap kali panen tanpa menunggu satu tahun.

4. Mustahik Zakat

Al-Qur’an secara tegas menyebut delapan golongan penerima zakat (mustahik) dalam QS. At-Taubah [9]: 60.

“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, miskin, amil zakat, muallaf, (untuk memerdekakan) budak, orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan orang yang sedang dalam perjalanan…”

Meskipun daftar mustahik disepakati, para ulama berbeda pandangan dalam penafsirannya.

a. Fakir dan Miskin
Menurut madzhab Syafi’i dan Hanbali, fakir lebih membutuhkan daripada miskin karena hampir tidak memiliki harta sama sekali. Madzhab Hanafi membalik urutannya: miskin lebih parah kondisinya. Namun, keduanya berhak utama menerima zakat.

b. Amil Zakat
Semua madzhab sepakat bahwa amil yang bekerja secara resmi dalam pengumpulan dan distribusi zakat berhak mendapat bagian, meskipun ia kaya, karena haknya adalah imbalan kerja.

c. Muallaf
Menurut madzhab Syafi’i dan Maliki, muallaf berhak menerima zakat selama diharapkan dapat menguatkan Islam atau menahan permusuhan. Adapun menurut Hanafi, bagian muallaf sudah tidak berlaku setelah Islam kuat (pasca masa Rasulullah SAW).

d. Riqab (Memerdekakan Budak)
Konteks ini kini diqiyaskan oleh sebagian ulama pada pembebasan manusia dari perbudakan modern, seperti pembelaan terhadap hak asasi manusia atau pembebasan tawanan.

e. Gharim (Orang Berutang)
Jumhur ulama membolehkan pemberian zakat kepada orang yang memiliki hutang karena kebutuhan mendesak, baik untuk dirinya sendiri maupun demi kemaslahatan umum.

f. Fisabilillah
Istilah ini paling luas penafsirannya. Menurut ulama klasik, maksudnya adalah pejuang di jalan Allah. Namun, ulama kontemporer seperti Qaradawi memperluas maknanya hingga mencakup kegiatan dakwah, pendidikan Islam, dan pemberdayaan umat.

g. Ibnu Sabil (Musafir)
Berhak menerima zakat jika kehabisan bekal dalam perjalanan, meskipun ia kaya di tempat asalnya.

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *