Riba dalam Islam: Konsep, Dalil, dan Perbedaan Pemahaman Ulama
Oleh: Ichwan Muttaqin, S.E., M.E.Sy.
Dakwah.My.id. – Pembahasan mengenai Riba akan selalu menjadi hangat untuk di ulas, salah satu sebabnya karena posisi praktik riba yang sering kita temukan dalam kegiatan ekonomi. Riba dalam Islam adalah praktik ekonomi yang sangat dilarang karena mengandung unsur kezaliman dan eksploitasi. Pelarangan riba memiliki dampak signifikan dalam menjaga keseimbangan ekonomi masyarakat, melindungi yang lemah, dan mencegah penindasan. Namun, perbedaan pendapat muncul di kalangan ulama mengenai batasan dan jenis riba yang dilarang, terutama dalam konteks transaksi modern. Oleh karena itu, penting untuk memahami konsep dasar riba, landasan hukumnya, serta bagaimana ulama memahami dan menerapkannya dalam berbagai situasi ekonomi.
Pengertian Riba
Secara etimologis, kata “riba” berasal dari bahasa Arab yang berarti ziyadah “tambahan” atau “pertambahan”. Dalam istilah syar’i, riba adalah penambahan atas harta pokok yang dibebankan dalam transaksi tertentu yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan dalam Islam. Secara umum Riba dibagi dua:
- Riba Nasi’ah: Penambahan yang disyaratkan dalam utang piutang, di mana pembayaran pokok dan bunga ditunda hingga waktu tertentu.
- Riba Fadhl: Penambahan dalam pertukaran barang sejenis yang nilainya tidak sama atau dengan ukuran yang berbeda.
Dalil dan Dasar Hukum
- QS. Al-Baqarah: 275: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah karena mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”
- QS. Al-Baqarah: 278-279: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.”
- Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: “Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, pemberi riba, penulisnya, dan dua saksinya.” Beliau bersabda, “Mereka semua sama.” (HR. Muslim)
- “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jelai dengan jelai, kurma dengan kurma, garam dengan garam; harus sama jenisnya, sama kadarnya, dan dilakukan secara tunai. Jika jenisnya berbeda, maka juallah sesukamu asalkan dilakukan secara tunai.” (HR. Muslim)
Perbedaan Pemahaman Ulama Madzhab (Klasik) tentang Riba
- Mazhab Hanafi Mazhab Hanafi memandang riba berlaku hanya pada barang yang memenuhi syarat tertentu, yaitu berupa bahan makanan pokok atau mata uang. Dalam pandangan ini, riba tidak berlaku pada pertukaran barang yang tidak memiliki nilai komoditas pokok.
- Mazhab Maliki Mazhab Maliki berpendapat bahwa riba berlaku dalam pertukaran barang yang dapat disimpan dalam jangka waktu lama dan bermanfaat. Riba terjadi jika ada perbedaan dalam jenis atau ukuran barang yang dipertukarkan. Mereka menganggap riba sebagai sesuatu yang lebih luas dari sekadar bunga dalam pinjaman uang.
- Mazhab Syafi’i Menurut mazhab Syafi’i, riba berlaku pada barang-barang yang dapat diukur dengan takaran atau timbangan, seperti emas, perak, dan bahan makanan pokok. Mazhab ini menekankan bahwa penambahan harus dihindari, terutama jika transaksi dilakukan secara tertunda.
- Mazhab Hambali Mazhab Hambali mengartikan riba dengan cakupan yang lebih luas. Mereka menganggap riba terjadi dalam transaksi di mana ada unsur tambahan tanpa imbalan yang seimbang, baik dalam hal pinjaman maupun pertukaran barang yang berbeda jenisnya. Mazhab ini menekankan bahwa riba dilarang dalam segala bentuk tambahan tanpa imbalan yang jelas.
Pendapat Ulama Kontemporer
Sejumlah ulama modern seperti Sayyid Sabiq, Wahbah Zuhaili, dan Yusuf Al-Qaradawi memberikan perspektif yang lebih kontekstual terkait riba. Menurut mereka, bunga bank dapat diterima dalam situasi tertentu, asalkan tidak menimbulkan ketidakadilan dan tidak memberatkan pihak yang meminjam. Mereka juga menekankan perlunya pengembangan sistem keuangan syariah sebagai alternatif bebas riba.